Siapa yang tidak bosan selama pandemi? Semua pasti bosan. Saya pun demikian. Apa yang bisa kita kerjakan untuk mengatasi kebosanan ini? Banyak orang memilih menekuni kembali hobi, contohnya berkebun, beternak, bersepeda. Masalahnya, apakah kebosanan akan sirna? Sirna untuk sementara. Lama-lama, orang akan bosan lagi bila terus melakukan sesuatu yang berulang-ulang sehingga membuat hal itu menjadi tidak menarik dan menjenuhkan. Kalau demikian, apa yang dapat dikerjakan agar tidak bosan?

Makna Hidup

Salah satu hal kunci yang saya tawarkan yaitu menemukan makna hidup. Viktor Frankl, psikoanalis, menunjukkan bahwa makna bersifat relatif (Frankl, 2020:93). Karena makna suatu situasi akan ditangkap secara berbeda-beda oleh setiap orang. Makna pun berbeda dari hari ke hari, bahkan dari jam ke jam. Saya pun sependapat dengan Frankl. Bila kita dalam kondisi bahagia, maka maknanya pun akan terkesan bahagia. Sebaliknya, bila tiba-tiba kondisi buruk datang, maka maknanya akan terkesan buruk. Walau demikian, hal itu tidak dapat menjadi acuan baku. Bisa saja, seseorang yang mengalami kondisi buruk tetap menemukan makna yang indah, karena ia telah mengolahnya dengan sangat baik.

Di balik relativitas kondisi dan makna yang muncul, Frankl mengajak kita melihat apa yang dinamakan keunikan. Keunikan berbicara tentang kualitas yang tidak hanya berlaku pada situasi, melainkan hidup itu sendiri sebagai keseluruhan (Frankl, 2020:93). Hidup dipandang sebagai rangkaian situasi yang unik. Keunikan juga terdapat pada diri manusia dari segi esensi maupun eksistensi. Apa artinya? Hal ini berarti setiap manusia menjadi unik, karena tidak ada satu pun yang sama dengan lainnya. Ide tersebut memungkinkan kita berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Membandingkan bisa berdampak negatif, apabila kita selalu berpikir bahwa kita tidak memiliki nilai, atau hal yang perlu dikembangkan. Saya yakin, Tuhan mendesain kita dengan sangat unik. Setiap orang memiliki talenta dan kelemahan masing-masing.

Lantas, sebagai orang Kristiani, bagaimana kita menemukan makna hidup di tengah keunikan diri dan kehidupan? Salah satu langkah penting yang harus dilakukan yaitu berjumpa dengan Kristus. Kristus sangat merindukan kita dan akan menunjukkan kita bagaimana menemukan makna hidup. Perjumpaan ini memungkinkan kita memiliki hati yang terbuka. Keterbukaan itu penting dalam Kekristenan. Mengapa? Keterbukaan membuat kita bersedia dididik dan ditunjukkan oleh Kristus. Saya menyadari bahwa proses ini tidak mudah, apalagi sebagai remaja atau pemuda atau orang yang baru saja lahir baru. Hal yang dapat saya rekomendasikan ialah carilah bapak atau ibu rohani. Saya pun melakukannya. Bapak atau ibu rohani dapat mengajari kita bagaimana hidup dan menemukan makna. Semua diajarkan bukan sebatas perkataan dan pengajaran, melainkan keteladanan.

Salah satu langkah penting yang harus dilakukan yaitu berjumpa dengan Kristus.

Makna tidak hadir dari kondisi, melainkan bagaimana kita memegang nilai Kristiani dalam beragam kondisi. Saya bantu dengan pernyataan-pernyataan berikut. Kita sering mengalami kondisi sulit yang membuat kita merasa tidak berdaya. Rasanya, tidak ada yang bisa menolong kita. Kita lupa bahwa ajaran sudah diberikan di Alkitab. Alkitab memberikan beragam pengajaran bagaimana hidup. Seberapa sering kita membaca dan merenungkan Alkitab? Bila kita memegang apa yang tertulis di Alkitab, maka kita tidak akan kesulitan memberi respons terhadap keadaan yang datang. Bagaimana bila rasanya kita tidak memperoleh makna dari Alkitab? Di sinilah, peranan bapak dan ibu rohani. Diskusikan dengan mereka mengenai nilai Kristiani dari Alkitab dan kondisi nyata yang kita alami. Tak lupa, kita juga memohon tuntunan Roh Kudus agar menerangi diri kita dalam melangkah.

Makna Hidup di Tengah Pandemi

Berbicara tentang makna hidup di tengah pandemi, saya mengajak kita menyadari, bahwa kondisi mental setiap orang berbeda. Kita mungkin sering mendengar ungkapan, bahwa dalam pandemi ini kita berada dalam badai yang sama, dengan kapal yang berbeda. Hal ini berarti kondisi setiap orang berbeda, ada yang kuat dan lemah. Kita tidak boleh menghakimi mereka yang lemah dan tidak berdaya, melainkan justru harus menolong mereka. Ini seperti yang tertulis dalam Roma 15:1, “Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.” Ayat ini mengingatkan kita untuk saling menolong di tengah pandemi dengan keteladanan Kristus.

Makna hidup di tengah pandemi perlu digumulkan tahap demi tahap. Tidak perlu buru-buru merasa lemah dan tidak berdaya. Kita memang perlu merasa lemah, tetapi bawalah kelemahan ini pada Kristus, dan mintalah arahan dari-Nya, seperti yang ada di Alkitab. 2 Korintus 12:9 mengingatkan kita sebagaimana tertulis, “Tetapi jawab Tuhan kepadaku: 'Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.' Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” Kita perlu mengingatnya dan memegang dalam kehidupan selama pandemi ini.

Ketika menarik makna hidup di tengah pandemi, saya diingatkan Viktor Frankl, bahwa pikiran manusia tidaklah bersifat kaleidoskop (Frankl, 2020:101). Apabila kita menilik ke dalam kaleidoskop, kita hanya dapat melihat apa yang ada di dalam kaleidoskop itu sendiri. Sementara, ketika kita melihat ke dunia, atau satu hal yang ada di dunia ini, kita bisa melihat bahwa ada banyak sudut pandang atau perspektif. Pada titik ini, perspektif menjadi penting di masa pandemi. Perspektif apa yang perlu kita miliki? Apakah perspektif yang membuat kita makin terpuruk dan lesu, atau kebangkitan iman dan pengharapan? Saya menimbang, perspektif nilai Kristianilah yang perlu dipegang.

Mengembangkan Kepercayaan pada Kristus

Pokok kunci yang saya tawarkan dalam memaknai hidup di tengah pandemi ini ialah kepercayaan pada Kristus. Kelemahan memang nyata. Bagaimana tidak, setiap hari kita ditakut-takuti dengan data jumlah penderita dan mereka yang meninggal karena COVID-19. Lalu, dimanakah letak kepercayaan kita? Tentu jawabannya ialah Kristus. Tidak ada sosok selain Kristus. Kristus tidak hanya memberikan pengajaran, melainkan memberikan bukti pengorbanan kasih melalui karya keselamatan yang diberikan-Nya. Apakah kita masih ragu?

J. Sudrijanta mengingatkan, bahwa keraguan adalah musuh kepercayaan, tetapi untuk dapat beriman sejati dibutuhkan keraguan (Sudrijanta, 2013:28). Apa maksudnya? Maksudnya bukan keraguan terhadap ajaran nilai Kristiani, melainkan keraguan yang membuat batin merasa aman atau pasti, termasuk hobi, penalaran, dan kesimpulan sendiri. Semua hal itu hanya sementara, lalu membuat kita bosan lagi. Tidak hanya itu, batin yang sudah menemukan kepastian dan kenyamanan dari dunia tidak akan mampu melihat nilai Kristiani. Oleh karenanya, di sini, belajar dari gagasan Sudrijanta, saya mengajak kita bersama-sama mengembangkan kepercayaan kepada Kristus. Jangan berhenti berharap dan datang kepada-Nya sebagaimana tertulis dalam Matius 11:28, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” Seruan Yesus pada kita ini bukanlah ucapan kosong, melainkan sungguh-sungguh untuk mengembangkan kepercayaan kepada Kristus. Akhir kata, saya ucapkan selamat mencari dan menemukan makna hidup Anda di tengah pandemi yang tidak diketahui ujungnya ini.

Tuhan beserta Anda senantiasa.

Daftar Pustaka

Frankl, Viktor E. The Will to Meaning. Jakarta: Mizan Publika, 2020.

Sudrijanta, J. Pencerahan: Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma. Yogyakarta: Kanisius, 2013.