Kerja dan pelayanan tidak jarang dipandang sebagai dua hal yang terpisah dan tak sejalan. Bagi sebagian orang, bekerja sebagai profesional di tempat kerja adalah hal yang terpisah dari urusan iman. Disadari atau tidak, kadang hidup yang kita bangun adalah hidup yang terkotak-kotak, ada pemisahan antara aspek ritual (hubungan dengan Tuhan) dan aspek sosial (hubungan dengan sesama), antara hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan hubungan horizontal (dengan sekitar).

Itu sebabnya, mengutip perkataan Pdt. Kuntadi Sumadikarya, orang membedakan yang secular (duniawi) dengan yang sacred (sorgawi). Di hari Minggu kita bisa duduk bersama memuji, memuliakan Tuhan, dan tampak saleh (berdoa dengan khusyuk, menaikkan pujian dengan lantang, menjadi aktivis dan melayani, ramah terhadap sesama), merasa menjadi umat Tuhan. Namun sepulang dari gereja, kita berubah menjadi pribadi-pribadi yang berbeda, yang kembali menekuni kehidupan daging: egois, individualistis, narsis, penuh kejahatan (korupsi, tidak setia, menduakan Tuhan), menjalani bisnis dan bekerja sebagai warga dunia yang tidak ada kena-mengenanya dengan kehidupan iman dan bergereja. Fenomena ini adalah fenomena pengotak-ngotakan. Bekerja itu untuk cari uang; di gereja itu pelayanan.

Judul tulisan ini adalah “Kerja Sebagai Panggilan Pelayanan”. Judul ini mau mengajak umat Tuhan untuk memahami, bahwa kerja dan panggilan pelayanan bisa menjadi sesuatu yang terintegrasi, tidak terkotak-kotak atau terpisah. Hal ini berkaitan dengan pemaknaan kita terhadap kerja itu sendiri.

Allah Adalah Pekerja

Seperti kita tahu, Kitab Kejadian dimulai dengan cerita mengenai Allah yang sibuk bekerja, menciptakan alam semesta yang dilengkapi dengan langit, bumi, laut, daratan, hewan, tumbuhan, dan manusia. Menariknya, Alkitab juga diakhiri dalam dengan Kitab Wahyu yang menegaskan, bahwa Allah lagi-lagi bekerja menciptakan “langit dan bumi baru” (Wahyu. 21:1).

Ketika Allah menciptakan alam semesta dengan segala isinya – termasuk manusia – Ia bekerja, baik lewat perkataan-Nya maupun lewat pekerjaan tangan-Nya. Ia kemudian mengatur semuanya itu sehingga ada ketertiban dan keteraturan, mengatasi keadaan yang kacau-balau pada mulanya. Apa yang dilakukan Allah di Kejadian 2:2 itu disebut sebagai sebuah pekerjaan.

Lalu apakah Allah masih bekerja sampai sekarang? Memang ada orang yang berpikir dan memahami, bahwa setelah Allah selesai menciptakan alam semesta dengan segala keteraturannya, Ia kemudian pergi meninggalkan segala ciptaan-Nya. Tapi iman Kristen meyakini, Allah tidak pernah meninggalkan ciptaan-Nya. Ia terus bekerja, memelihara, dan memenuhi segala kebutuhan seisi dunia. Jadi selain bekerja mencipta, Allah juga memelihara ciptaan-Nya dan memenuhi kebutuhannya. Bahkan, ketika manusia terjerat dalam belenggu dosa, Ia tahu kebutuhan kita akan penebusan, maka Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk membebaskan kita.

Sejak halaman pertama, Kitab Kejadian memperlihatkan Allah adalah pekerja, dan hasil pekerjaan-Nya disebut “baik” dan “sungguh amat baik.” Oleh karena itu, Allah menginginkan umat-Nya juga bekerja dengan baik, tidak malas-malasan, dengan optimal, agar hasilnya sungguh amat baik, bukan asal-asalan.

Kerja Sebagai Berkat, Bukan Kutuk

Sering terjadi kesalah pahaman tentang kerja. Ada orang yang memahami bahwa manusia harus bekerja akibat dosa. Jadi kerja dianggap sebagai kutukan dan hukuman atas dosa yang dilakukan Adam dan Hawa, sehingga manusia sebagai keturunannya pun mengalami kutuk itu.

Apakah benar pemahaman ini? Dalam Kitab Kejadian disebutkan, bahwa Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kejadian. 1:28). Jadi memang sejak semula pekerjaan diciptakan Allah. Bukan sebagai kutuk, tetapi sebagai berkat. Kita diciptakan bukan untuk bermalas-malasan, tetapi untuk bekerja.

Sejak di taman Eden, Kejadian 2:15 menyebutkan, “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Allah menghargai manusia dengan luar biasa. Ia sebenarnya mahakuasa dan tidak memerlukan bantuan siapa pun untuk memelihara alam dan segala isinya, tetapi Ia mau mengangkat manusia sebagai rekan sekerja-Nya. Jelas ini merupakan suatu anugerah bagi kita.

Karenanya kita yakin, sebagai umat-Nya di masa kini, kita tidak berjalan dan bekerja sendirian. Adalah sebuah berkat dan anugerah yang besar bila kita boleh bekerja di mana pun kita saat ini berada, dan menjadi rekan sekerja Tuhan yang senantiasa menyertai dan memberkati, sehingga apa yang kita kerjakan bisa berhasil.

Namun sebagai rekan sekerja Tuhan, tentu kita juga dituntut untuk melakukan pekerjaan kita dengan benar. Oleh karena itu, pekerjaan dan kerja kita harus dikembalikan pada jalur yang tepat dan benar, karena ketika kita bekerja, bukan misi kita yang sedang kita jalankan, melainkan missio Dei (misi Allah), untuk memelihara dan mengusahakan kebaikan di tengah kehidupan ini.

Kerja Sebagai Panggilan Pelayanan

Kisah hidup Yusuf dapat menjadi inspirasi. Ia berhasil dan kuat bertahan dalam segala episode hidupnya yang turun-naik itu, karena ia memaknai hidup dan setiap hal yang dikerjakan dan dialaminya sebagai rancangan Tuhan, yang mau mengikutsertakannya sebagai rekan sekerja-Nya. Panggilan Yusuf adalah memelihara kehidupan, sehingga kalaupun ia harus menjadi budak, difitnah, atau dipenjara, di samping berbagai keberhasilannya, ia memaknai semua itu sebagai panggilan Tuhan. Ia dipanggil untuk mendahului saudara-saudaranya tiba lebih dulu di Mesir, dalam rangka memelihara kehidupan tadi.

Bagi umat Yahudi, setiap pekerjaan diyakini mengandung “suruhan Tuhan”. Kata yang digunakan adalah kata Ibrani: melakah. Soal suruhan Tuhan ini tidak selalu berkaitan dengan pekerjaan rohaniwan. Seorang pekerja bangunan pun disebut sebagai aneshe melakah, atau pekerja bangunan suruhan atau utusan Tuhan. Ia menjadi pekerja bangunan bukan karena tidak ada pekerjaan lain, hanya untuk mencari nafkah, atau sebagai upaya aktualisasi diri, supaya merasa berharga, tetapi karena Tuhanlah yang mengutus dan menyuruhnya melakukan hal itu.

Yohanes Calvin, seorang tokoh reformasi gereja menegaskan hal yang serupa, yang kemudian menjadi etos kerja kaum Protestan, “Tuhan menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing. Dan masing-masing jalan hidup itu dinamakan-Nya panggilan … Tidak ada pekerjaan apa pun, betapapun kecil dan hinanya, yang tidak akan bersinar-sinar dan dinilai berharga di mata Tuhan.” Calvin mau mengingatkan kita, bahwa pekerjaan kita, apa pun itu, merupakan sebuah panggilan dan penugasan dari Tuhan.

Itu artinya bila kita menjadi dokter, pengusaha, dosen, guru, ahli IT, konsultan pajak, salesman, broker, karyawan, mahasiswa, buruh, montir, petugas kebersihan, petugas keamanan, dan lain-lain, kita dipanggil dan disuruh Tuhan menjadi dokter, pengusaha, dosen, guru, ahli IT, konsultan pajak, salesman, broker, karyawan, mahasiswa, buruh, montir, petugas kebersihan, petugas keamanan, dan lain-lain, yang bertanggung jawab, bersungguh-sungguh, berdedikasi, bermutu, jujur dan setia, sebab kita mengaku bahwa dari Tuhan sendirilah asalnya pekerjaan dan penugasan ini. Itu berarti dengan penuh disiplin kita menjalani tiap peran kita, bukan karena terpaksa, bukan sekadar untuk mencari uang atau aktualisasi diri, tapi karena kita sedang memenuhi panggilan atau suruhan Tuhan.

Kuntadi Sumadikarya mengingatkan, bahwa semua profesi dan pekerjaan pada dasarnya merupakan “pelayanan Kristiani penuh waktu.” Pekerjaan yang sering disebut-sebut “sacred” (menjadi pendeta) atau “secular” adalah setara; bisa juga dipahami yang “secular” menjadi “sacred” apabila dikerjakan dalam relasi dengan Allah, sedangkan yang “sacred” bisa menjadi  “secular” bila dikerjakan terlepas dari relasi dengan Allah. Oleh karena itu, Calvin menolak anggapan, bahwa panggilan Tuhan hanya berlaku bagi pekerjaan rohani. Segala jenis pekerjaan, sejauh itu mendatangkan faedah bagi keberlangsungan hidup, merupakan panggilan Tuhan bagi kita, sebagai rekan sekerja-Nya. Dengan mengutip John Stott dalam “Issues Facing Christians Today,” Kuntadi Sumadikarya menegaskan, “Kerja adalah ‘pengeluaran energi’ untuk melayani orang lain; yang memberi kepenuhan hidup bagi yang bekerja, manfaat bagi komunitas dan kemuliaan Allah.”

Kita bekerja karena kita dipanggil untuk itu dan diutus oleh Allah. Kerja bagi umat Allah menjadi sebuah keharusan atau kewajiban yang dilakukan, bukan karena terpaksa dan membuat kita terkekang. Kita harus bekerja karena Allah kita pun bekerja, dan Ia menghendaki kita menjadi rekan sekerja-Nya.

“Apa pun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan…” (Kolose 3:23).

Sumber:

Sumadikarya, Kuntadi. 2008. Kerjaku adalah Ibadahku. Makalah untuk panel diskusi Bulan Keluarga GKI Perumahan Citra 1. I

smail, Andar. 1998. Selamat Berkarya. BPK Gunung Mulia. Jakarta