Allah bermaksud agar kita didiami oleh Roh Kudus dan hidup dalam persekutuan, sebagai keluarga dalam Kerajaan-Nya.

Suatu saat pernah dilakukan sebuah diskusi yang membahas tentang ibadah, sakramen, doa, persekutuan dan organisasi Gereja, dengan peserta sebagian besar terdiri dari orang-orang Kristen “baru”. Mayoritas setuju, bahwa gereja adalah penyia-nyia waktu yang tidak berguna. “Gereja-gereja dulu masih diperlukan,” kata salah satu peserta, “tapi kita masih memiliki Firman Allah, jadi kita ‘tidak perlu’ hamba Tuhan, dsb. Roh Kudus akan melakukan semuanya.” Bahkan ada yang berpendapat, gereja penuh dengan orang munafik, bahkan bisa jadi kebanyakan belum diselamatkan. Ada juga yang beranggapan, hidup pribadi bersama dengan Tuhan saja sudah cukup.

Kita banyak berbicara tentang bagian dari pekerjaan Roh Kudus dalam pengudusan. Sesungguhnya, Roh Kudus bekerja paling efektif menguduskan kita, pada waktu kita “bekerja sama” dengan orang lain. Tuhan tidak bermaksud agar kita duduk sendirian di kamar gelap. Allah bermaksud agar kita didiami oleh Roh Kudus dan hidup dalam persekutuan, sebagai keluarga dalam Kerajaan-Nya. Kita diikat satu dengan yang lain dan dengan Allah, dalam satu kesatuan yang teguh, dalam iman Kristen yang sejati. Sendirian bersama Allah itu luar biasa, tetapi “kesepian” bersama Allah itu berbahaya bagi kehidupan rohani kita. Belakangan, banyak terjadi pemisahan yang hebat dalam agama yang terorganisir dan lembaga gereja, khususnya di negara-negara Barat. Salah satu penyebabnya, adalah gereja cenderung meninggalkan fondasinya, yaitu wahyu Allah dan kesatuan yang berasal dari Roh Kudus (Ef 4:3-6). Banyak gereja menjadi bayi yang tidak berdaya, yang “diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan” (Ef 4:14).

Iman menjadi berubah. Itu tidak akan terjadi apabila mereka menjadi bagian dari keluarga Allah dan pengantin perempuan Kristus, “Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala. Daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota, menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (Ef 4:15-16). Oleh karena itu, kita perlu memberikan kerangka masalah dari diskusi tentang gereja ini, dalam pemahaman, bahwa gereja yang kelihatan merupakan lembaga sosial dan spiritual.

Aspek-aspek organisasi dari gereja berkembang, selaras dengan tujuan yang digariskan oleh Paulus dalam Efesus 4. Kondisi ideal ini diringkaskan dalam Pengakuan Iman Rasuli, sebagai “… Gereja yang Kudus dan Am.” Implikasi positif dari hal ini adalah, bahwa gereja, meskipun ada kelemahan dan fragmentasi, tetap merupakan realitas universal yang kudus dan spiritual. Implikasi negatifnya adalah, bahwa saat organisasi ini meninggalkan ketaatan dalam mendisiplin, kesetiaan dalam pengajaran dan ibadah rohani, ia akan “berhenti” menjadi gereja. Suatu gereja nyata yang sejati, lokal ataupun universal, adalah bagian dari tubuh Kristus, disatukan dengan gereja yang lain berdasarkan kepercayaan kepada Yesus Kristus, Putra Allah Yang Kekal, yang menjadi manusia, yang mati dalam ruang dan waktu sejarah, untuk menebus utang kita kepada Allah, karena dosa kita.

Gereja merupakan keluarga yang terdiri dari budak-budak yang menyerahkan dirinya kepada ketuhanan Kristus, yang secara fisik bangkit dari kematian dan memerintah dalam kemuliaan. Gereja merupakan persekutuan penyembahpenyembah Allah yang Esa, yang telah berkomunikasi kepada kita melalui Kitab Suci. Gereja yang sejati lebih dari itu. Untuk mempertahankan keteguhan iman, anggotanya harus hidup kudus, tertib, dan berbuah. Jalan utama untuk mencapai tujuan ini adalah dengan “pemuridan”, yang mengutamakan “hidup bersama” Kristus di sepanjang hidup, sehingga kita sebagai murid-Nya, mengenali motivasi, nilai, dan kesukaan Gurunya. Bertahun-tahun hidup sebagai jemaat gereja dengan contoh Sang Guru, mereka melihat gaya hidup Sang Guru, cara menangani masalah, pergaulan-Nya sehari-hari, bahkan begitu dekat, hingga “dianggap” sebagai anak dan perwakilan dari Sang Guru itu sendiri. Alhasil, para murid, yang biasanya datang dengan hasrat meledak-ledak, iman yang terombang-ambing, mudah berubah, akhirnya menjadi pribadi-pribadi yang lebih bijaksana dan suka menyelesaikan persoalan dengan jalan damai, seperti Sang Guru. Saat itulah Sang Guru akan menatap mereka dengan bangga, seraya berkata, “Akhirnya kalian mengerti ajaran-Ku, mempunyai iman yang teguh, sesuai kehendak-Ku.”

Itulah artinya menjadi “murid” Yesus. Pemuridan bukanlah tugas atau pelajaran, melainkan sebuah “hubungan”, di mana melaluinya, kita bisa mengamati, belajar, dan bertumbuh dalam kesatuan iman yang teguh, sekalipun harus jatuh bangun.