Saat ini kita hidup dalam generasi yang krisis teladan, terlebih lagi kalau kita melihat generasi anak-anak yang ada saat ini, dan kalau kita harus mempersempitnya, kita ini juga merupakan bagian dari generasi tersebut. Sehingga kita membutuhkan pribadi-pribadi yang tidak hanya tahu banyak teori tentang kekristenan, tapi yang juga berani berjuang untuk hidup sesuai dengan kebenaran.

Kata ‘MURID’ merupakan kata yang tepat untuk melukiskan integritas tersebut (mencakup being dan doing). Murid adalah seorang yang mengikuti teladan Gurunya, dan lebih daripada itu, seorang yang mengabdikan diri kepada Gurunya secara nyata, orisinil/asli, menjadi diri sendiri atau otentik. Yesus mengkonsentrasikan diri dan pelayananNya untuk menghasilkan ‘MURID’ (mathetes – Yunani). Murid adalah pribadi yang bukan hanya mengenal kebenaran, tetapi juga melakukan kebenaran yang ia ketahui tersebut melalui hidup yang otentik di hadapan Allah dan sesama, tegasnya hidup sebagaimana seharusnya, yakni menyenangkan hati Tuhan dan bukan mengikuti kehendak orang lain (tanpa kepura-puraan, bukan hidup yang munafik atau pribadi yang semu). Kitab-kitab Injil dengan jelas menunjukkan bagaimana Yesus mendidik para muridNya untuk taat dan melakukan setiap kebenaran dan kehendakNya. Dan untuk itu, dibutuhkan proses waktu yang tidak singkat. Apa yang dikerjakan Yesus sebagai Guru Agung selama di dunia ini, mencerminkan apa yang menjadi kebutuhan dunia ini. Dunia ini membutuhkan “Murid Otentik”. Hal ini juga yang menjadi bagian Amanat Agung Yesus bagi para muridNya, dalam Matius 28: 19, “ …. dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadaMu”. Kita adalah orang-orang yang lemah dan rapuh. Mengakui kelemahan dan kerapuhan, menerima diri apa adanya tanpa berupaya menjadi terlihat sempurna di pandangan orang lain adalah langkah menjadi pribadi yang otentik. Marilah hidup di dalam kelemahan dan kerapuhan itu, namun tentu saja kita harus tetap berupaya untuk disempurnakan dan menjadi lebih baik karena itulah panggilan kita sebagai murid Kristus. Bagaimana kita dapat mengajarkan anak-anak menjadi murid Kristus yang otentik sebagaimana Kristus inginkan?

Anak-anak sangat berharga di mata Yesus sehingga anak-anak perlu menjadi bagian dari seluruh kehidupan berjemaat yang utuh. Yesus tidak hanya berbicara kepada orang dewasa, Yesus berinteraksi dengan anak-anak semasa pelayananNya di dunia dan mengatakan pelbagai hal tentang anak-anak yang harus kita pertimbangkan saat kita melakukan sesuatu bagi mereka. Jika kita ingin anak-anak kita menjadi murid yang otentik, kita perlu mencamkan katakata Yesus tentang anak-anak. Apakah Yesus mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu bersama anak-anak yang dapat memberi kita petunjuk bagaimana menolong anak-anak untuk menempatkan hidup mereka sebagai murid yang otentik di hadapan Allah dan sesama?

Yang pertama kali kita lihat, sebagian besar interaksi Yesus dengan anakanak dicatat dalam keempat Injil berkaitan dengan penyembuhan. Ada empat kisah ketika Yesus menyembuhkan anak-anak: Yesus menyembuhkan anak perempuan Yairus – Matius 9: 18-26; Markus 5: 21-43; Lukas 8: 41-56, Yesus menyembuhkan seorang anak di Kapernaum – Yohanes 4: 46-54, Yesus menyembuhkan seorang anak laki-laki yang dirasuk roh jahat – Matius 17: 14-20; Markus 9: 14-29; Lukas 9: 37-43, Yesus menyembuhkan anak seorang perempuan Kanaan - Matius 15: 21-28; Markus 7: 24-30. Bila kita melihat peristiwa-peristiwa penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus, terlihat jelas bahwa Yesus memedulikan dan menghargai kesejahteraan fisik setiap anak. Yesus tidak hanya peduli dengan hidup kekal anak-anak, Yesus ingin anak-anak maupun orang dewasa sehat secara jasmani dan rohani.

Yang kedua, ada dua perikop dalam kitab Injil di mana Yesus berbicara tentang anak-anak, ditemukan dalam tiga Injil Sinoptik. Perikop pertama dalam Markus 9: 33-37; Matius 18:1-5; Lukas 9: 46-48, mengatakan siapa yang terbesar dalam Kerajaan Allah. Ketika Yesus mendapati murid-muridNya sedang bertengkar tentang siapa yang terbesar, Yesus melihat itu sebagai momentum untuk mengajar sebuah pelajaran penting, suatu kebesaran yang sejati. Dengan memanggil seorang anak kecil, Yesus berbicara tentang sikap apa yang perlu dimiliki orang yang ingin masuk dalam Kerajaan Surga. Yesus mengajarkan tentang kerendahhatian, dengan menggunakan contoh sempurna, yaitu memperlakukan seorang anak diperhatikan dan dipeluk.

Yang ketiga, di dalam ketiga Injil di mana kisah itu ditulis, Yesus berbicara tentang “menyambut” seorang anak. Apa artinya menyambut anak-anak? Bagaimana membuat anak-anak merasa penting dan memiliki tempat di dalam jemaat/keluarga, memikirkan kebutuhan khusus anak-anak saat kita merencanakan acara-acara gereja/ keluarga. Intinya menyambut anakanak untuk membuat mereka merasa sebagai bagian penting dari komunitas gereja/keluarga sesuai amanat Yesus yang harus kita lakukan.

Yang keempat, ada sebuah perikop lain di mana Yesus berbicara secara spesifik tentang anak-anak. Perikop ini muncul dalam ketiga Injil Sinoptik: Markus 10: 13-16; Matius 19: 13- 15; Lukas 18: 15-17. Di sini Yesus mengacu kepada anak-anak, dan komentar-komentarNya, walaupun singkat, secara khusus dimaksudkan untuk memberi tahu tentang anak-anak kepada murid-muridNya maupun kita. Dalam peristiwa tersebut, anak-anak muncul sebagai alasan dari pelajaran yang sedang Yesus berikan. Yesus sangat bisa merasakan cara para muridNya memperlakukan anak-anak yang dijauhkan dari Yesus. Justru Yesus memanggil anak-anak untuk datang kepadaNya, Yesus memeluk dan memberkati mereka. Jelas terlihat bahwa dalam kejadian tersebut Yesus menyambut anak-anak dan memastikan bahwa mereka dilibatkan dalam kelompok orang yang diperbolehkan datang kepadaNya. Yesus memanggil kita untuk mengikutsertakan anakanak dalam kehidupan berjemaat/ berkeluarga, mereka harus dilibatkan sehingga kita benar-benar menjadi jemaat lintas generasi. Yesus memanggil kita untuk menjadi sebuah komunitas, sebuah komunitas yang mencakup semua orang dari segala lapisan usia yang beribadah dan bekerja bersama. Dengan cara ini kita mulai memahami kekayaan dan keragaman umat Tuhan.

Riset George Barna (dalam bukunya Transforming Children into Spiritual Champions, Ventura: Regal Books, 2003 hlm. 34, 41) menyimpulkan bahwa anak-anak jauh lebih terbuka pada pesan Injil ketimbang remaja atau orang dewasa. Jadi, membuat gereja/keluarga kita lebih terbuka bagi anak-anak bukan hanya sesuatu yang benar untuk dilakukan, tetapi juga pemahaman penginjilan yang baik.

Kebutuhan khusus anak-anak harus dipenuhi bersamaan dengan kebutuhan mereka untuk menjadi bagian dari Tubuh Kristus. Ketika anak-anak dilibatkan dalam kehidupan berjemaat/ berkeluarga, setiap orang merasakan manfaatnya. Anak-anak bisa melihat bahwa iman kita lebih dari sekadar iman yang kita bicarakan, dan orang dewasa mendapatkan lebih dari kehidupan berjemaat/berkeluarga. Tanpa kehadiran dan keterlibatan anak-anak, kita kehilangan sebuah bagian penting dari keberadaan kita.

Fokus kita harus ditujukan pada program yang menyatukan kita untuk menjadi murid yang otentik, sekalipun setiap kejadian dirancang untuk kelompok usia atau kelompok gender tertentu. Agar anak-anak bertumbuh dalam iman yang mengandung aspek pengenalan kepada Tuhan Yesus Kristus, berhubungan dengan Tuhan Yesus Kristus, dan bersedia hidup dengan cara yang Tuhan Yesus Kristus inginkan, kita perlu sungguh-sungguh dapat menjadi bagian dari setiap aspek kehidupan anakanak. Untuk menolong anak-anak mengembangkan iman menjadi murid yang otentik, kita perlu memastikan bahwa mereka memiliki sebuah tempat dalam arus utama kehidupan jemaat/ keluarga. Jika mereka memiliki tempat ini, mereka akan mampu melihat dan mengalami bahwa Tuhan Yesus Kristus menjadi pusat kehidupan dan bagian terpenting dari kehidupan orang tua mereka, kakek-nenek mereka dan orang dewasa lain.

Sumber:

Keeley, Robert J, “Helping Our Children Grow in Faith”, USA : Baker Book House (Revell), 2008.

Neumann, Connie, “Parenting in The Home Strecht”, USA: Flemming H. Revell a Division of Baker Publishing Group, 2005.

Barna, George. “Transforming Children into Spiritual Champions,” USA: Ventura Regal Book, 2003.