Di zaman perkembangan digital saat ini mungkin sebagian orang akan menganggap bahwa menjadi seorang pengajar (Kristen) akan lebih mudah dibandingkan zaman sebelumnya.

Hal itu tentu saja dapat diterima karena ketersediaan sumber bahan ajar yang begitu mudah diperoleh dengan waktu yang begitu singkat. Oleh karena itu, pergeseran kemanusiaan kita saat ini sudah beralih dari sebutan Homo sapiens menjadi Homo digitalis. Secara etimologis istilah digital itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu digitus yang berarti jari-jemari. Dengan kata lain, kemampuan manusia saat ini sudah lebih tergantung pada kecepatan jemarinya dari pada kecepatan daya pikirnya.

Oleh karenanya, sebutan itu sangat pantas disematkan pada kemanusiaan kita saat ini, mengingat begitu mudahnya mencari sumber-sumber pembelajaran yang dapat ditemukan melalui kecepatan jari-jari berselancar dalam situs web pembelajaran. Alhasil hal ini akan membawa dua dampak sekaligus, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, pengajar akan sangat mudah memperoleh sumbersumber yang kita inginkan dengan cepat dan juga akan terlihat seolah-olah sebagai pengajar yang berkompetensi tinggi dan kreatif. Kemudahan itulah yang sering didengungkan dengan sebutan literasi digital. Mencari sumber-sumber dari jejak digital yang tersedia.

Sebaliknya, kondisi itu juga akan menimbulkan dampak negatif yaitu sebagai pengajar akan selalu tergoda untuk mengambil bahan-bahan melalui cara yang melanggar etika akademik. Misalnya, tindakan malakademik yang umum seperti tindakan plagiat. Hal itulah yang menjadi salah satu tantangan berat bagi kita yang ingin menjadi guru (Kristen). Di sinilah diperlukan tingkat integritas seorang pengajar Kristen. Selain itu, jika kemudahan diartikan dalam konteks perolehan sumber bahan ajar saja, pengajaran itu tentu hanya berorientasi pada transfer pengetahuan.

Padahal tujuan pendidikan yang telah dirumuskan bukanlah hanya sebatas itu, melainkan lebih pada penghayatan atas nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap bahan ajar. Dengan kata lain, tugas berat seorang pengajar terletak sejauh mana aktualisasi dari setiap bahan yang diajarkan itu benar-benar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan murid-muridnya. Di sini tentulah karakter keteladanan menjadi tonggak penting bagi seorang pengajar Kristen. Keteladanan, terutama dalam hal selaras antara apa yang disampaikan dengan perbuatan, akan menjadi cermin yang dapat diimitasi oleh setiap murid. Dan sejujurnya, untuk melakukannya sangatlah sulit. Akan tetapi, kita harus selalu berusaha mewujudkannya.

Mewujudkan hal ideal seperti itu memang tidaklah mudah jika seorang pengajar benar-benar tidak mengetahui hal-hal yang mendasar tentang muridnya. Bahkan seorang pengajar harus juga dapat menciptakan situasi yang selalu memberi motivasi kepada sang murid sehingga memunculkan daya tarik untuk selalu ingin belajar. Akan tetapi, lagi-lagi hal itu tidaklah mudah. Seorang pengajar membutuhkan strategi yang tepat guna. Pertanyaannya adalah strategi apa dan bagaimana bentuknya yang tepat? Di sinilah tugas berat dari seorang pengajar tersebut untuk selalu tidak merasa puas atas hasil selama ini. Pengajar harus selalu berusaha menemukan dan mengkreasikan strategi lain di dalam pengajarannya.

Penulis sendiri sampai detik ini juga selalu menggumuli bagaimana menjadi seorang pengajar Kristen yang benar-benar mampu mempertanggungjawabkan talenta pengajaran yang dimiliki. Telah banyak buku yang memberikan kiatkiat menjadi seorang guru yang ideal, guru yang andal, guru yang kreatif dan juga guru yang mampu menguasai dan mengelola kelas, semuanya memberi perspektif masing-masing. Namun, penulis tetap terus melakukan pencarian. Sampai pada suatu waktu, penulis mendapatkan satu buku dari kolega, yang berjudul “Mengajar untuk Mengubah Hidup” karya Howard G. Hendricks. Dalam biografi singkatnya, Howard G. Hendricks disebutkan seorang pengajar terkenal dan ketua Center for Christian Leadership di Dallas Theological Seminary. Selanjutnya, ia sudah menulis beberapa buku di antaranya “Heaven Help the Home” dan “Say It Love”. Di dalam buku-buku itu dipaparkan secara jelas bahwa dalam proses pengajaran ada tujuh hukum yang harus benar-benar diketahui dan harus juga dilaksanakan. Tujuh hukum yang dimaksud yaitu 

1. Hukum pengajar,

2. Hukum pendidikan,

3. Hukum kegiatan,

4. Hukum komunikasi,

5. Hukum hati,

6. Hukum motivasi,

7. Hukum kesiapan.

Namun, dalam tulisan ini, penulis akan lebih menekankan pada bagian hukum yang pertama yaitu hukum pengajar. Terkait dengan hukum pengajar, Hendricks (2016:19) mengatakan bahwa jika Anda berhenti bertumbuh hari ini, Anda akan berhenti mengajar di kemudian hari. Satu pernyataan yang begitu menggetarkan hati. Tentu makna kata berimbuhan tersebut tidaklah sesempit makna leksikalnya.

Hal itu karena kata bertumbuh sendiri memiliki makna filosofi yaitu kita sebelum sebagai seorang pengajar harus berawal dari seorang pembelajar. Dengan kata lain, tingkatan untuk sampai sebagai pengajar harus terlebih dahulu melewati proses menjadi pembelajar atau murid. Namun, hal yang hakiki yang dapat saya tafsirkan dari kata bertumbuh itu adalah memang sudah seharusnya setiap hari kita sebagai guru harus mengembangkan potensi intelektual dan kerohanian kita agar mengarah pada cara pengajaran Kristus. Kita harus menjadi inspirasi dan teladan bagi murid-murid kita sebagaimana kita mendapatkan keteladanan dan inspirasi dari gaya pengajaran Kristus. Terlebih jika dikaitkan dengan Lukas 6:40 yang dikutip Hendricks (2016:21), yaitu “Barang siapa telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya”. Jika kita berkaca pada pengajaran Yesus Kristus, sang Guru Agung, kita sebagai guru sekarang sangat jauh dari apa yang diharapkan Yesus Kristus. Hal itu dikarenakan sisi kemanusiaan kita kadang-kadang menjadi lawan untuk menjadi guru yang semakin sama dengan Kristus. Sebagai sebuah refleksi atas talenta pengajaran yang telah diberikan, penulis secara pribadi dapat merasakan manfaat buku tersebut.

Manfaat yang dimaksud bukan hanya sekedar informasi penting yang didapatkan, melainkan juga manfaat yang mengajarkan dan mengingatkan saya untuk benar-benar menghidupi terus sebagai seorang pengajar Kristen. Hal itu sejalan dengan talenta yang diberikan Tuhan kepada saya yaitu sebagai salah satu pengajar di tingkat perguruan tingg