Sering kali kita tidak mengerti mengapa pemimpin rohani, terutama dalam lingkungan gereja, tidak seperti yang diharapkan. Bahkan kita membandingkan kepemimpinan gereja yang satu dengan gereja yang lain. Kita melihat kepemimpinan gereja di sana lebih baik, dan hal ini mendorong kita berpikir untuk pindah ke gereja yang “sempurna” tersebut. John Stott, dalam bukunya, Calling Christian Leaders: Biblical Models of Church, Gospel and Ministry, mengutip kalimat yang sering diucapkan Billy Graham, “By all means look for the perfect church, and when you find it, join it. But remember, when you join it, it ceases to be perfect.” Ketika pindah ke gereja tersebut, gereja yang kelihatan “sempurna” tersebut berhenti menjadi “sempurna.” Mengapa begitu? Untuk memahami realitas yang demikian, kita harus mengacu pada worldview. Berbicara mengenai worldview, mau tidak mau kita harus berbicara mengenai “belief system.

Worldview berkaitan erat dengan internal belief system, yang menjadi kerangka menyeluruh dan kepercayaan dasar seseorang dalam memahami segala hal, termasuk memahami Tuhan dan realita dunia, relasi manusia dengan Tuhan dan sesama, etika, moralitas, ilmu pengetahuan, politik dan lainnya. Worldview juga dapat digunakan sebagai kompas untuk menjawab - apa, mengapa, dan bagaimana cara kerja realita ini.

Untuk melihat posisi diri kita dalam rancangan Allah, kita harus mengacu kepada konsep narasi Christian atau Biblical Worldview, dengan prinsip Creation (Penciptaan), Fall (Kejatuhan Manusia), Redemption (Penebusan), dan Consummation (Penyempurnaan/ Restorasi). Keempat prinsip tersebut adalah grand narrative atau big picture dari keseluruhan Alkitab.

Untuk memahami keempat prinsip tersebut, kita dapat merujuk kepada Tata Gereja dan Tata Laksana GKI:

Creation – Alam semesta, langit dan bumi serta segenap isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, adalah milik dan ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah menurut gambar/citra-Nya.

Fall – Manusia telah menyalahgunakan kebebasannya dengan menolak untuk menerima kedudukannya sebagai ciptaan dan ingin menjadi seperti Allah. Ia dikuasai iblis, dan menjadi hamba dosa. Kejatuhan manusia ke dalam dosa ini telah menyeret seluruh ciptaan ke dalam kebinasaan, dan kehidupan di atas bumi ini menjadi rusak.

Redemption – Allah tetap mengasihi manusia, walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, dan bumi menjadi rusak dan penuh kekerasan. Untuk dunia yang demikian, Allah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam Dia, Allah menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya. Hanya pada-Nya manusia akan beroleh keselamatan yang kekal.

Consummation – Manusia baru (telah ditebus Kristus) yang mati dalam Kristus, akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.

Keberdosaan Manusia

Kisah hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari rangkaian narasi C-FR-C (Creation, Fall, Redemption and Consummation). Dunia dan manusia yang semula diciptakan dengan sangat baik, telah rusak ketika manusia jatuh dalam dosa. Relasi yang rusak dengan Allah juga mengakibatkan gangguan dalam relasi manusia dengan sesamanya. Dampak dosa mencakup segala aspek kehidupan.3 Kejatuhan dalam dosa mengakibatkan terjadinya berbagai kejahatan dan penyimpangan. Dosa berkaitan dengan spiritualitas. Berbagai permasalahan di sekeliling kita ini berkaitan erat dengan spiritualitas.

Karena kita mewarisi natur dosa, maka kegiatan apapun tidak akan terlepas dari dampak keberdosaan kita. Itulah sebabnya kita sering menjumpai, bahkan dalam diri kita sendiri, masih melekat dosa, berupa iri hati, tinggi hati, egois, dan lainnya. Hal ini yang menyebabkan berbagai krisis dan konflik. Yang terkena dampak bukan diri kita saja, tetapi juga komunitas kita. Satu orang berdosa berdampak terhadap seluruh komunitas. Sehingga komunitas tersebut juga tercemar dosa. Dan akibatnya, seluruh komunitas harus mempertanggungjawabkannya.

Being, Not Doing

Seringkali pula kita berpendapat, untuk memuliakan Tuhan, kita harus melakukan/memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Kita berfokus pada “doing.” Kita bangga telah melakukan “great job” untuk Tuhan. Tetapi yang Tuhan inginkan, adalah “being” kita diubahkan/ditransformasi. Carver mengutip Peter Senge, pakar leadership dan organizational development,By contrast Greenleaf, invites people to consider a domain of leadership grounded in a state of being, not doing.” Pilihan dari servantleadership yang ia jelaskan adalah “not something you do, but an expression of your being.” (Carver, 2004, 27).

Problem kita adalah being, bukan doing. Being berkaitan dengan spritualitas. Karena worldview menyangkut komponen spiritualitas, maka pengakuan bahwa diri kita adalah orang berdosa yang telah ditebus oleh Kristus sangat penting.

Keberhasilan kepemimpinan spiritual, terutama di lingkungan gereja, tidak diukur dengan hasil akhir (bottom line) ataupun kegiatan spektakuler, tetapi adanya perubahan anggotanya menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Setelah menerima penebusan oleh Kristus, adakah perubahan diri kita? Perubahan akan terwujud, jika kita mengakui ketuhanan Kristus dalam segala aspek kehidupan kita.

Relasi yang intim antara kita dengan Tuhan sangat penting, karena relasi yang demikianlah yang dapat mentranformasi diri kita. Tuhan menghendaki pemimpin yang dapat membawa anggotanya untuk mengenal Tuhan, bertumbuh dalam relasinya yang semakin intim dengan Tuhan, serta memuliakan Tuhan. Ketaatan Kepada Kristus Kepemimpinan rohani juga tidak menyibukkan diri untuk mengejar berbagai posisi dan jabatan di lingkungan pelayanannya. Fokus utama pemimpin rohani adalah Tuhan dan kehendakNya.

Akar masalah kita sebagai pemimpin, yaitu kita sering bertumpu pada kemampuan kita sendiri, ketimbang membuka diri kita untuk dipimpin Kristus. Tuhan menghendaki kita percaya kepada-Nya sepenuhnya. Jangan bersandar kepada pemikiran kita yang terbatas dan tercemar dosa.

Tugas seorang pemimpin bukanlah untuk menyenangkan semua orang, tetapi untuk mendengar, patuh, taat kepada Tuhan. Yesus adalah Kepala dan kita anggotanya. Spiritualitas akan bertumbuh, jika kita menaklukkan diri kita kepada Kristus. Tanpa Kristus dan kepimpinan Kristus dalam kehidupan kita, yang akan terjadi adalah kekacauan.

Pemahaman Biblical Worldview dalam tahapan C-F-R-C (Creation-Fall-Redemption-Consummation) menjadi kepercayaan dasar, dan menyadarkan kita, bahwa kehidupan yang kita jalani saat ini adalah semata-mata anugerah kasih Allah. Kematian Yesus di kayu salib telah menebus kita dari dosa. Gambar Allah dalam diri kita dipulihkan. Sebagai orang yang telah ditebus, maka kita harus berjuang keras untuk melawan segala bentuk pencemaran, dengan menaati Allah sepenuhnya. Kita harus hidup kudus. Dengan demikian, Allah boleh dipermuliakan.

Sehati Sepikir di dalam Kristus Paulus memberikan nasihat kepada jemaat di Korintus demikian, “Terimalah segala nasihatku! Sehati sepikirlah kamu, dan hiduplah dalam damai sejahtera; maka Allah, sumber kasih dan damai sejahtera akan menyertai kamu!” (2 Korintus 13:11b). Sebagai manusia yang telah ditebus oleh Kristus, kita harus menyelaraskan diri kita dengan kehendak Kristus. Jika jemaat sebagai tubuh Kristus terkoneksi dengan Kristus yang merupakan Kepala dan mendengarkan suara-Nya, akan tercipta kesatuan dan keteraturan. Kita akan sehati sepikir dalam Kristus, dan damai sejahtera akan menyertai kita.