Kita mudah bersyukur di tengah-tengah berkat yang kita peroleh. Tetapi, barangkali ada juga orang yang tidak pernah bersyukur, meski hanya satu kali pun dalam kehidupannya.

Kebanyakan orang akan sulit bersyukur, manakala ia sedang diperhadapkan pada situasi yang membuat hati dan pikirannya pilu dan kacau. Ketiga situasi itu menjadi sebuah pilihan. Lantas apa pilihan kita sebagai orang yang menyatakan diri sebagai pengikut Kristus?

Jawabannya ada di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Bersyukur dapat dimaknai sebagai sikap seseorang atas apa yang sedang ia alami. Pada prinsipnya, bersyukur akan selalu diikuti dengan tindakan nyata atas apa yang disyukuri. Oleh karena itu, banyak di antara kita yang mampu memberi argumentasi logis, sebagai alasan yang meyakinkan atas syukur yang kita sampaikan. Misalnya, bersyukur karena mendapatkan nilai tinggi dalam dunia akademik, bersyukur atas kenaikan jenjang karir dalam pekerjaan, bersyukur atas keluarga yang bahagia, dan lain-lain. Bersyukur semacam inilah yang dikategorikan sebagai bersyukur dalam arti positif. Sebaliknya, sanggupkah kita bersyukur di tengah-tengah situasi yang tidak menguntungkan kita? Misalnya, dapatkah kita dapat bersyukur, meski kehilangan orang yang kita kasihi, bersyukur atas kecelakaan yang dialami, bersyukur walaupun rumah kebakaran, dan lain-lain? Bersyukur semacam inilah yang dikategorikan sebagai bersyukur dalam arti negatif.

Bagi sebagian orang, bentuk bersyukur semacam ini adalah sebuah kebodohan, sikap yang seolah-olah mau menerima segala hal negatif terjadi pada dirinya. Dari dua perspektif dalam memaknai kata bersyukur tadi, umumnya perspektif yang pertamalah yang sangat mungkin diterima akal sehat, di tengah-tengah kemanusiaan kita yang sangat rapuh. Berbeda halnya dengan bersyukur dalam perspektif kedua, yang kemungkinan akan ditolak oleh sebagian besar orang dengan tajam. Bersyukur seperti itu tampaknya tidak akan pernah dirindukan oleh siapa pun. Orang akan berpikir, untuk apa menangis, kalau kita bisa tertawa lepas? Untuk apa kita hidup miskin, kalau bisa menjadi orang kaya? Demikian pula, untuk apa bersyukur dalam kondisi meratap dan melarat, kalau kita bisa bersyukur dalam kondisi bersuka cita dan berkecukupan? Bukankah kita bersyukur karena mendapatkan hal-hal yang baik? Paradigma seperti inilah yang harus dipertanyakan. Atas dasar apa kita bersyukur sebagai seorang pengikut Kristus?

Seperti yang sudah kita ketahui, menjadi seorang pengikut Kristus, maka kita harus bersedia menerima segala konsekuensi yang tidak mudah, karena memikul salib sendiri sangatlah sulit dijalani. Oleh karena itu, sebagai pengikut Kristus, sudah seharusnya kita dapat memaknai ulang kata bersyukur di tengah-tengah kehidupan kita. Pemaknaan itu dapat kita kategorikan menjadi dua bagian besar, yaitu bersyukur sebagai sebuah konteks, atau sebagai sebuah tindakan nyata dari seorang pengikut Kristus. Artinya, sebagai pengikut Kristus, apakah kita bersyukur hanya karena konteks tertentu, atau kita bersyukur sebagai wujud dari pemaknaan kita, tindakan nyata kita sebagai pengikut Kristus. Kedua situasi ini akan menghasilkan dua hal yang kontras. Teringat satu pendapat yang mengatakan, bahwa rasa syukur harus dimulai dengan kesadaran akan kemelaratan kita (Edward T. Welch, 2013: 247). Pendapat itu menegaskan, bahwa bersyukur adalah sikap yang memahami betul, bahwa kondisi kemanusiaan kita adalah benar sedang melarat. Kemelaratan yang dimaksud dalam hal ini, adalah kemelaratan rohani. Oleh karena itu, kita harus datang kepada Allah yang sanggup dan mampu mengubah kemelaratan itu. Kita berterima kasih, karena Allah sendiri mau menerima kita, melalui kasih setiaNya kepada ciptaan-Nya.

Jika kondisi ini dimaknai dengan baik, maka rasa syukur kita bukan didasari oleh konteks yang menguntungkan kita, melainkan lebih sebagai bentuk tindakan nyata kita, karena memang dari awal kita menyadari hal itu. Bersyukur perlu dimaknai sebagai sebuah sikap yang sudah sepantasnya dari seorang pengikut Kristus. Di sisi lain, kita perlu menjadikan rasa syukur sebagai fondasi iman kita terhadap hal-hal apapun yang akan terjadi di dalam kehidupan jasmani dan rohani kita, baik yang menyenangkan, maupun yang tidak menyenangkan. Rasa syukur harus menjadi dasar dari ketaatan kita kepada Yesus Kristus, dan bukan sebaliknya, bahwa rasa syukur sebagai tindakan ketaatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Wolterstrorff (2014:357). Dengan kata lain, bersyukur bukanlah buah dari ketaatan kita. Sebaliknya, ketaatan adalah buah dari rasa syukur.

Rasa syukur didasari oleh iman kita kepada Yesus Kristus, sehingga ketaatan harus ditempatkan sebagai bentuk ekspresi dari rasa syukur tersebut. Sulit memang melakukannya, tetapi kita harus berusaha dan berdoa kepada-Nya, agar dapat ditolong melalui Roh Kudus. Dengan demikian, rasa syukur kita itu adalah sebuah tindakan yang tidak dipengaruhi oleh konteks yang membuat kita bersyukur, melainkan memang sebagai sebuah tindakan nyata yang didasari oleh iman kita kepada Yesus Kristus. Bersyukur karena memang demikianlah seharusnya kita sebagai pengikut Kristus. Setiap hari, sudah sepantasnya kita bersyukur kepada-Nya karena Ia baik, karena kasih setia-Nya ada untuk selama-lamanya (Maz 118: 1). Terlebih lagi, kita bersyukur kepada Tuhan, atas janji keselamatan dan kehidupan kekal yang diberikan-Nya kepada kita. Kita juga perlu bersyukur, karena dalam situasi apapun, Tuhan berjanji akan menyertai kita, selama kita tentunya berseru kepada-Nya. Akan tetapi, perlu dipahami, bahwa tindakan bersyukur harus diikuti dengan kualitas iman kita kepada Yesus Kristus, karena bersyukur, atau rasa syukur itu sendiri, adalah salah satu wujud dari kualitas iman kita kepada Yesus Kristus. Dengan demikian, bersyukurlah bukan karena adanya konteks tertentu, melainkan karena itu adalah tindakan dasar dari seorang pengikut Kristus.